Kemandirian



Suatu hari, Umar bin Khattab ra. Melihat seorang pemudah memesona. Penampilannya bersih, pakaiannya baik, bahasa tubuhnya bagus. Umar sangat kagum terhadap cowok itu ibarat layaknya setiap orang terkesan melihat orang yang berpenampilan necis dan menyakinkan.

                Rasa ingin tau memuncaki perasaan Umar. Karena Ia tidak mengenal cowok itu, sang Khalifah lantas bertanya kepada salah seorang pembantunya, siapa bergotong-royong cowok itu.

                “Dia tidak bekerja ya Ammirul Mukminim! Ia hidup dari harta orang tuanya” jawab sang pembantu.

                Mendengar balasan itu, berubahlah air muka Umar tidak lagi berseri.”Jika benar demikian, tidak ada arti segala kekaguman terhadap dirinya,” jawab Umar.

                Dengan caranya sendiri, dongeng itu membentuk sebuah pemahaman dalam benak saya, kemandirian, seberapa pun dayanya, yaitu harga seseorang. Sesaleh apa pun, sejujur apa pun, setampan apa pun, jikalau seorang tidak mandiri, sebab beliau tidak menginginkannya, menjadi nihillah nilainya.

                Keringat diciptakan untuk keluar dari pori-pori insan dengan nilai sebuah usaha. Keringat dengan nilai perjuangan itu akan keluar lewat segala kegiatan bernilai manfaat. Sekecil apa un nilai mata uang setiap negeri niscaya menghargainya. Artinya, kemandirian, dalam bentuk apap un, yaitu hal mutlak bagi setiap orang yang ingin membangun harga dirinya, posisi tawarnya.

Dirangkum oleh Ahmad Zaki Yusuf, sumber dari buku Inu Kencana for President
Buat lebih berguna, kongsi:
close