Muslimah, Bagaimana Kita Menanggapi Perayaan Tahun Gres Dan Natal ?

Penyusun: Ummu Aiman
Muraja’ah: Ustadz Abu Salman

Setiap bulan Desember umat nasrani merayakan hari raya agama mereka, yaitu Hari Natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember. Mendekati bulan ini, beberapa sudut pertokoan mulai ramai dengan hiasan natal. Supermarket-supermarket yang mulanya sepi-sepi saja, sekarang dihiasi dengan pernak-pernik natal. Media massa pun tidak ketinggalan ikut memeriahkan hari raya ini dengan menayangkan acara-acara Istimewa natal.

Disudut kampus, seorang mahasiswi berkerudung menjabat tangan salah seorang sahabat wanitanya yang beragama nasrani sambil berkata, “Selamat Natal ya…” Aih-aih, tidak tahukah sang muslimah ini bagaimana aturan ucapan tersebut dalam syariat Islam?
Saudariku, aneka macam umat Islam yang tidak mengetahui bahwa perbuatan ini tidak boleh dilakukan, dengan tanpa beban dan tanpa merasa berdosa ucapan selamat natal itu terlontar dari mulut-mulut mereka. Mereka salah kaprah perihal toleransi beragama sehingga dengan simpel dan mudahnya mereka mengucapkan selamat natal pada sahabat dan kerabat mereka yang beragama nasrani. Lalu bagaimana bekerjsama pandangan islam dalam perkara ini? Berikut ini yaitu bahasan seputar natal yang disusun dari beberapa aliran ulama.
 
Natal Menurut Islam
Peringatan Natal, mempunyai makna ‘Memperingati dan mengahayati kelahiran Yesus Kristus’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas terbitan Balai Pustaka). Menurut orang-orang nasrani, Yesus (dalam Islam disebut dengan ‘Isa) dianggap sebagai anak Tuhan yang lahir dari rahim Bunda Maria. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan syariat Islam yang mengimani bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihis sallam bukanlah anak Tuhan yang dilahirkan ke dunia melainkan salah satu nabi dari nabi-nabi yang Allah utus untuk hamba-hamba-Nya.
Allah Taala berfirman dalam QS Maryam: 30 yang artinya, “Isa berkata, ‘Sesungguhnya saya ini yaitu hamba Allah (manusia biasa). Dia memperlihatkan kepadaku Al Kitab (Injil) dan menjadikanku sebagai seorang Nabi.’”
 
Wahai Saudariku, maka barangsiapa dari kita yang mengaku bahwa dirinya yaitu seorang muslim, maka ia harus meyakini bahwa ‘Isa yaitu seorang Nabi yang Allah utus memberikan risalah-Nya dan bukanlah anak Tuhan dengan dasar dalil di atas.
 
Tentang Ucapan Selamat Natal
Atas nama toleransi dalam beragama, banyak umat Islam yang mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani baik kepada kerabat maupun teman. Menurut mereka, ini yaitu salah satu cara untuk menghormati mereka. Ini alasan yang tidak benar, perilaku toleransi dan menghormati tidak mesti diwujudkan dengan mengucapkan selamat kepada mereka alasannya yaitu di dalam ucapan tersebut terkandung makna kita oke dan ridha dengan ibadah yang mereka lakukan. Jelas, ini bertentangan dengan aqidah Islam.
Ketahuilah saudariku, hari raya merupakan hari paling berkesan dan juga merupakan simbol terbesar dari suatu agama sehingga seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat kepada umat nasrani atas hari raya mereka alasannya yaitu hal ini sama saja dengan meridhai agama mereka dan juga berarti bantu-membantu dalam perbuatan dosa, padahal Allah telah melarang kita dari hal itu:
Dan janganlah kau bantu-membantu dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS Al Maidah: 2)
Ketahuilah wahai saudariku muslimah, ketika seseorang mengucapkan selamat natal kepada kaum nasrani, maka di dalam ucapannya tersebut terdapat kasih sayang kepada mereka, menuntut adanya kecintaan, serta menampakkan keridhaan kepada agama mereka. Seseorang yang mengucapkan selamat natal kepada mereka, sama saja dia oke bahwa Yesus yaitu anak Tuhan dan merupakan salah satu Tuhan diantara tiga Tuhan. Dengan mengucapkan selamat pada hari raya mereka, berarti dia rela terhadap simbol-simbol kekufuran. Meskipun pada kenyataannya dia tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap saja tidak diperbolehkan meridhai syiar agama mereka, atau mengajak orang lain untuk memberi ucapan selamat kepada mereka. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya alasannya yaitu itu bukan hari raya kita, bahkan hari raya itu tidaklah diridhai Allah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, adapun ucapan selamat terhadap simbol-simbol kekufuran secara khusus disepakati hukumnya haram contohnya mengucapkan selamat atas hari raya atau puasa mereka dengan mengatakan, ‘Hari yang diberkahi bagimu’ atau ‘Selamat merayakan hari raya ini’, dan sebagainya. Yang demikian ini, meskipun si pengucapnya terlepas dari kekufuran, tetapi perbuatan ini termasuk yang diharamkan, yaitu setara dengan ucapan selamat atas sujudnya terhadap salib, bahkan dosanya lebih besar di sisi Allah dan kemurkaan Allah lebih besar daripada ucapan selamat terhadap peminum khamr, pembunuh, pezina, dan lainnya dan banyak orang yang tidak mantap pondasi dan ilmu agamanya akan simpel terjerumus dalam hal ini serta tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Barangsiapa mengucapkan selamat kepada seorang hamba alasannya yaitu kemaksiatan, bid’ah, atau kekufuran, berarti dia telah mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah.
Dengan demikian, tidaklah diperkenankan seorang muslim mengucapkan selamat natal meskipun hanya basa-basi ataupun hanya sebagai pengisi pembicaraan saja.
 
Menghadiri Pesta Perayaan Natal
Hukum menghadiri pesta perayaan natal tidak jauh bedanya dengan aturan mengucapkan selamat natal. Bahkan sanggup dikatakan bahwa aturan menghadiri perayaan natal lebih jelek lagi ketimbang sekedar memberi ucapan selamat natal kepada orang kafir alasannya yaitu dengan tiba ke perayaan tersebut, maka berarti ia ikut berpartisipasi dalam ritual agama mereka. Dan dengan menghadiri pesta perayaan tersebut berarti telah memperlihatkan kesaksian palsu (Syahadatuzzur) terhadap ibadah yang mereka lakukan dan ini dihentikan dalam agama Islam (lihat Tafsir Taisir Karimirrahman, Surat Al Furqon ayat 72).
Allah berfirman yang artinya:
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kau sembah. Dan kau bukan penyembah Tuhan yang saya sembah. Dan saya tidak pernah menjadi penyembah apa yang kau sembah. Dan kau tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang saya sembah. Untukmu agamu, dan untukkulah agamaku.”
Maka Saudariku, seorang muslim diharamkan untuk hadir pada perayaan keagamaan di luar agama islam baik ia diundang ataupun tidak.
 
Hukum Merayakan Tahun Baru
Beberapa hari sehabis natal berlalu, masyarakat mulai disibukkan dengan persiapan menyambut tahun gres masehi pada tanggal satu Januari. Bagaimana Islam memandang hal ini?
Saudariku, Allah telah menganugerahkan dua hari raya kepada kita, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dimana kedua hari raya ini disandingkan dengan pelaksanaan dua rukun yang agung dari rukun Islam, yaitu ibadah haji dan puasa Ramadhan. Di dalamnya, Allah memberi ampunan kepada orang-orang yang melakukan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, serta menebarkan rahmat kepada seluruh makhluk.
Ukhti, hanya dua hari raya inilah yang disyariatkan oleh agama Islam. Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba ke Madinah, penduduk Madinah mempunyai dua hari raya yang mereka bermain-main di hari raya itu pada masa jahiliyyah, kemudian ia bersabda: ‘Aku tiba kepada kalian sedangkan kalian mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di hari itu pada masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan idul Fitri.’” (Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, dan Al-Baghawi)
Maka tidak boleh umat Islam mempunyai hari raya selain dua hari raya di atas, contohnya Tahun Baru. Tahun Baru yaitu hari raya yang tidak ada tuntunannya dalam Islam. Disamping itu, perayaan Tahun Baru sangat kental dengan kemaksiatan dan mempunyai hubungan yang erat dengan perayaan natal. Lihatlah ketika para dewasa berduyun-duyun pergi ke pantai dikala malam tahun gres untuk begadang demi melihat matahari terbit pada awal tahun, kebanyakan dari mereka yaitu berpasang-pasangan sehingga tentu saja malam tahun gres ini tidak lepas dari sarana-sarana menuju perzinaan. Jika tidak terdapat sarana menuju zina, maka hal ini sanggup dihukumi sebagai perbuatan yang sia-sia. Ingatlah saudariku, ada dua kenikmatan dari Allah yang banyak dilalaikan oleh manusia, yaitu kesehatan dan waktu luang (HR Bukhari). Maka janganlah kita isi waktu luang kita dengan hal sia-sia yang hanya membawa kita ke jurang kenistaan dan mengakibatkan kita sebagai insan yang merugi.
Saudariku, Allah telah menyempurnakan agama ini dan tidak ada satupun amal ibadahpun yang belum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umatnya. Maka tidak ada lagi syari’at dalam Islam selain yang telah Allah wahyukan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada lagi syari’at dalam Islam selain yang telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan pada kita. Saudariku, ikutilah apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tuntunkan kepada kita, janganlah engkau meniru-niru orang kafir dalam ciri khas mereka. Barangsiapa yang ibarat suatu kaum, maka ia merupakan belahan dari kaum tersebut (Hadits dari Ibnu ‘Umar dengan sanad yang bagus). Setiap diri kita yaitu pemimpin bagi dirinya sendiri dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin. Semoga Allah senantiasa menyelamatkan agama kita. Wallaahu a’lam.
 
Maraji’:
  1. Fatwa: Natal Bersama. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun III.
  2. Fatwa: Natal Bersama. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun IV.
  3. Fatwa-Fatwa Terkini 2. Cetakan ketiga. Tahun 2006. Darul Haq.
  4. Bulletin At-Tauhid Edisi 96 Tahun II.
***
Artikel www.muslimah.or.id

Buat lebih berguna, kongsi:
close