Kisah-Kisah Di Balik Keajaiban Shalat Hajat

Mereka yang mendapat keajaiban Shalat Hajat
A. Menghidupkan Keledai yang Mati
 Mereka yang mendapat keajaiban Shalat Hajat Kisah-kisah di Balik Keajaiban Shalat HajatDiriwayatkan dari Abu Sirah an-Nakh’iy, ia berkata,“Seorang pria menempuh perjalanan dari Yaman. Di tengah perjalan keledainya mati, kemudian ia mengambil wudhu kemudian shalat dua rakaat, sesudah itu berdoa. Dia mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya saya tiba dari negeri yang sangat jauh guna berjuang di jalan-Mu dan mencari ridha-Mu. Saya bersaksi bekerjsama Engkau menghidupkan makhluk yang mati dan membangkitkan insan dari kuburnya, janganlah Engkau jadikan saya berhutang akal terhadap seseorang pada hari ini. Pada hari ini saya memohon kepada Engkau supaya membangkitkan keledaiku yang telah mati ini.” Maka, keledai itu bangun seketika, kemudian mengibaskan kedua telinganya.” (HR Baihaqi; ia mengatakan, sanad dongeng ini shahih)
B. Tercapainya Seluruh Hajat
Di dalam kitab Hasyiyatu Ibnu ‘Aabidiin, disebutkan bahwa di dalam shalat hajat, pada rakaat pertama dibaca surah Al-Fatihah dan ayat Kursi tiga kali kemudian pada tiga rakaat sisanya dibaca surah Al-Fatihan dan Al-Ikhlash, Al-Falak, dan An-Nas satu kali. Maka itu sebanding dengan Lailatul Qadr . Guru-gurunya melaksanakan shalat ini, dan tercapai seluruh hajatnya.
C. Dikabulkan Permintaannya Oleh Khalifah Utsman bin Afan
Dalam kitab Mu’jamu ash-Shoghir wal Kabiir, Imam Thabrani menceritakan:
Ada seorang pria mempunyai kebutuhan (hajat), kemudian ia memintanya kepada Amirulmukminin Utsman bin Afan, tetapi Utsam bin Afan tidak memperlihatkan apa yang dimintanya. Kemudian ia bertemu seseorang, yaitu Utsman bin Hunaif. Lalu ia mengadukan permasalannya kepadanya. Akhirnya, Utsman bin Hunaif menyuruhnya untuk melaksanakan shalat hajat, sebagaimana yang telah diajarkan –tata caranya– dalam hadits. Kemudian, ia pun mengerjakannya. Setelah itu, ia pun tiba kembali menemui Utsam bin Afan. Tidak disangka, Utsam bin Afan memuliakannya dan mengabulkan ajakan pria tersebut. Dengan insiden itu, ia pun menemui Utman bin Hunaif (yang telah mengajarkannya shalat hajat) dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
D. Ditolong Oleh Gubernur Thulun –Mesir–
Abu Al-Hasan As-Shaffar Al-Faqih berkata dan menceritakan,
Suatu ketika, kami bersama Al-Hasan bin Sufyan An-Naswi. Banyak orang-orang terhormat yang mengunjunginya dari banyak sekali negeri yang jauh untuk mengikuti majelis taklimnya, guna menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits.
Suatu hari, ia pergi menuju majelisnya, daerah ia memberikan riwayat-riwayat hadis, kemudian ia berkata, “Dengarkanlah apa yang akan saya sampaikan kepada kalian sebelum kita memulai pelajaran. Kami memaklumi bahwa kalian yakni sekelompok orang yang diberikan banyak kenikmatan dan termasuk orang-orang yang terpandang. Kalian tinggalkan negeri kalian, berpisah dari kampung halaman dan teman-teman, hanya demi menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits. Kalian tidak menyadari bahwa kalian telah menempuh semua kesulitan ini demi ilmu, atau telah menanggung apa yang telah kalian tanggung, yaitu berupa kesusahan dan kelelahan yang menjadi salah satu konsekuensinya. Sesungguhnya saya ingin menceritakan kepada kalian sebagian kesulitan yang saya alami di dalam menuntut ilmu, serta bagaimana Allah SWT memperlihatkan jalan keluar untukku dan para sahabatku –dengan keberkahan ilmu dan kemurnian aqidah– dari segala kesempitan dan kesulitan. Ketahuilah, semenjak muda saya telah meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu dan mencatat riwayat hadits.
Takdir membawaku hingga ke Maroko, kemudian menuju Mesir, bersama tujuh orang sahabatku sesama penuntut ilmu dan pendengar hadits. Kami kemudian belajar kepada seorang guru, ulama yang paling menonjol pada waktu itu. Paling banyak meriwayatkan hadits, paling mengetahui sanad-sanadnya, dan paling otentik periwayatan hadisnya. Ia menjelaskan hadis setiap hari sedikit demi sedikit, sehingga memakan waktu yang cukup lama. Akibatnya, kami menjadi kehabisan bekal. Kondisinya hingga memaksa kami untuk menjual barang-barang yang kami bawa, berupa baju dan celana. Akhirnya, tidak ada lagi milik kami yang tersisa untuk memperoleh biaya makan satu hari pun.
Tiga hari tiga malam kami lalui tanpa sanggup merasakan sesuatu apa pun. Sampai pada suatu pagi di hari keempat, tak satu pun di antara kami yang sanggup bergerak lantaran kelaparan. Kondisinya memaksa kami harus menahan rasa malu dan mengorbankan muka kami untuk meminta-minta, padahal diri kami menolak dan hati kami merasa keberatan.
Setiap orang dari kami menolak melaksanakan hal itu, namun situasi dan kondisinya benar-benar memaksa untuk meminta-minta. Akhirnya, semuanya setuju untuk menuliskan nama-nama kami di atas sebuah kain dan meletakkannya di atas air, barangsiapa yang namanya muncul ke permukaan, maka ia yang harus pergi meminta dan mencari makanan untuk dirinya serta sahabat-sahabatnya.
Kain yang tertulis dengan namaku kemudian muncul ke permukaan. Aku resah dan terkejut, dalam hatiku menolak untuk meminta-minta dan menanggung hina. Lalu, saya bergegas pergi ke satu sudut masjid untuk melaksanakan shalat dua rakaat dalam waktu cukup lama. Berdoa kepada Allah SWT dengan nama-nama-Nya yang Mahaagung dan kalimat-kalimat-Nya yang Mahamulia, supaya menghilangkan kesusahan ini dan memperlihatkan jalan keluarnya.
Belum simpulan saya melaksanakan shalat, seorang cowok tampan tiba-tiba masuk ke dalam masjid dengan pakaian higienis dan basi yang wangi, diikuti oleh seorang pengawal yang memegang sebuah sapu tangan.
Ia bertanya, “Siapa di antara kalian yang berjulukan Al-Hasan bin Sufyan?”
Aku mengangkat kepalaku dari sujudku, kemudian menjawab, “Aku Al-Hasan bin Sufyan, apa yang Anda inginkan?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya sahabatku, Gubernur Ibnu Thulun memberikan salam hormat dan permohonan maafnya atas kelalaiannya di dalam memperlihatkan perhatian mengenai kondisi kalian, juga atas kelalaian yang terjadi di dalam memenuhi hak-hak kalian. Ia mengirimkan sejumlah bekal untuk hari ini. Sedangkan besok, ia sendiri yang akan mengunjungi kalian untuk meminta maaf secara langsung.”
Pemuda tersebut memperlihatkan di tanganku masing-masing sebuah pundi berisi uang seratus dinar. Aku heran dan kebingungan.
Maka, saya berkata kepada cowok tersebut, “Ada kisah apakah dibalik ini semua?”
Ia berkata, “Aku yakni salah seorang pelayan khusus Gubernur Ibnu Thulun.
Pagi tadi, saya menemuinya bersama sejumlah sahabat yang lain, kemudian gubernur menyampaikan kepadaku, “Hari ini saya ingin menyendiri, maka pulanglah kalian ke rumah masing-masing!”
Aku pun pulang bersama yang lainnya. Sesampainya di rumah, belum sempat saya duduk, seorang utusan gubernur mendatangiku dengan tergesa-gesa, memintaku untuk kembali. Aku segera memenuhi panggilannya dan mendapat gubernur sedang berada sendirian di rumahnya. Ia meletakkan tangan kanannya di atas pinggangnya, menahan rasa sakit yang teramat sangat di dalam perutnya.
Ia berkata kepadaku, “Apakah engkau mengenal Al-Hasan bin Sufyan dan sahabat-sahabatnya?”
Aku menjawab, “Tidak.”
Ia berkata lagi, “Pergilah ke sektor fulan dan masjid fulan, bawalah pundi-pundi ini dan serahkan kepadanya dan para sahabatnya. Sudah tiga hari mereka kelaparan dengan kondisi yang mengenaskan. Sampaikan ajakan maafku, dan katakan bahwa besok pagi saya akan mengunjungi mereka untuk meminta maaf secara langsung.”
Pemuda itu berkata, “Aku menanyakan perihal lantaran yang membuatnya berbuat demikian, maka ia berkata, ‘Ketika saya masuk ke dalam rumah ini sendiri untuk beristirahat sesaat, saya tertidur dan bermimpi melihat seorang penunggang kuda sedang berlari di angkasa dengan begitu stabilnya –seperti layaknya berlari di atas hamparan bumi– sambil memegang sebilah tombak. Aku melihatnya sambil tercengang hingga ia turun di depan pintu rumah ini, kemudian meletakkan tombaknya di atas pinggangku, dan berkata, ‘Bangun, dan temuilah Al-Hasan bin Sufyan dan para sahabatnya.’ Bangun, dan temuilah mereka, sesungguhnya mereka kelaparan semenjak tiga hari yang kemudian di masjid fulan!’
Aku bertanya, ‘Siapakah engkau?” Ia menjawab, ‘Aku Ridhwan, penjaga pintu surga.’ Semenjak ia meletakkan ujung tombaknya di pinggangku, saya merasakan sakit yang teramat sangat, membuatku tidak sanggup bergerak. Maka, segeralah engkau sampaikan uang ini kepada mereka, supaya rasa sakit ini menghilang dariku.”
Al-Hasan berkata, “Kami tercengang mendengar kisah tersebut, bersyukur kepada Allah SWT dan sanggup memperbaiki kembali kondisi kami. Namun, diri kami merasa tidak nyaman lagi untuk menetap di daerah itu. Agar kami tidak dikunjungi oleh gubernur dan diam-diam kami diketahui oleh orang lain, sehingga menyembabkan melambungnya reputasi dan kedudukan kami, dan semua itu akan menjadikan sifat riya’. Maka, malam itu juga kami meninggalkan Mesir. Dan, ternyata setiap orang dari kami menjadi seorang tokoh ulama dan terpandang di zamannya.
Keesokan paginya, Gubernur Ibnu Thulun tiba ke daerah itu untuk mengunjungi kami, kemudian dikabarkan kepadanya mengenai kepergian kami. Kemudian, ia memerintahkan untuk membeli pertokoan/pasar seluruhya dan mewakafkannya untuk kepentingan masjid dan para perantau, orang-orang penting, dan para penuntut ilmu sebagai bekal mereka, supaya kebutuhan mereka tidak lagi terabaikan dan tidak mengalami ibarat yang kami alami. Semua itu disebabkan oleh kekuatan agama, kebersihan aqidah dan Allah SWT Maha Pemberi Taufiq.”
***
Dari Sahabat
Sumber:http://ervakurniawan.wordpress.com/2012/01/11/kisah-kisah-di-balik-keajaiban-shalat-hajat/
Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: